“Aku nggak mau. Titik. Pokoknya aku nggak mau. Kalian berempat tega kali padaku. Aku nggak bisa membayangkan gimana kehidupan aku di sana. Bang Andre, please,” aku terus mengiba sejak tadi pada keempat abang kandungku, tapi sepertinya keputusan mereka tak bisa diotak-atik lagi.
“Abang memang sayang sama kamu, tapi ini yang terbaik Ame,” bahkan Bang Andre yang biasanya membelaku sekarang menyetujui hal ini. Habislah aku.
“Sudahlah, mau nggak mau kamu harus pergi ke desa itu. Ini hukuman atas perbuatan kamu selama ini. Kemarin Ayah dan Mama kirim e-mail dari Aussie, mereka sangat sibuk, jadi semua hal yang bersangkutan dengan kamu diserahkan pada kami berempat. Artinya mereka setuju,” kata-kata Bang Safran membuatku semakin takut, tak ada yang mampu menolongku.
“Ame capek, mau tidur. Selamat malam,” aku langsung masuk ke kamar dan mengunci diri. Membayangkannya membuatku benar-benar takut.
Aku tahu ini salahku. Aku nggak lulus ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri manapun dan tuntas UN tingkat SMA dengan nilai yang pas-pasan. Ini karena pergaulanku yang terlalu bebas dan keseriusanku yang sangat minim pada dunia sekolah. Bahkan, aku pernah sempat berkenalan dengan dunia narkoba. Tapi untunglah, aku belum berkelana terlalu jauh. Benda haram itu sudah menjadi musuh mutlakku sekarang.
Dan sekarang aku dihukum kursus, tidak boleh kuliah swasta. Aku kursus privat ke Bang Ahmed setahun ini. Dia adalah abangku yang paling genius, bahkan SMP mampu diselesaikannya selama dua tahun. Tapi parahnya, aku tak mewarisi gen pintar Bang Ahmed walau hanya seujung jari.
Ini semua tampak semakin parah setelah Bang Andre, Bang Ahmed, serta si kembar Safwan dan Safran mendudukkanku di ruang tamu untuk suatu hal yang kuyakini kabar buruk, tampak jelas dari wajah khas kegelisahan mereka.
Bang Andre yang telah menjadi pegawai negeri dan tugas di Dinas Pendidikan mengabarkan bahwa di desa Sorkam sedang kekurangan tenaga pengajar untuk anak SD kelas empat. Dan itu merupakan satu-satunya sekolah dasar yang ada di sana. Setelah mendapat persetujuan dari pihak di sana, ia ingin aku menutupi kekurangan itu dan berangkat kesana besok pagi dengan ditemani si kembar yang sedang libur kuliah. Gila, bahkan aku tak diberi kesempatan untuk berpendapat.
Tok… Tok… Tok… Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Me, bereskan baju kira-kira untuk sebulan. Besok kita naik bus umum pagi dari terminal. Pasang alarm yang paling kuat!” Suara Safwan makin membuatku takut. Bahkan harus naik bus umum, huh… Dan puncak keparahannya aku harus berhadapan dengan anak-anak yang sangat menyebalkan selama sebulan, aaaaa!
]]]
Desa Sorkam, Tapanuli Tengah.
Ini pertama kalinya aku datang ke desa ini, bahkan pertama kali mendengar namanya adalah ketika diceritakan Bang Andre semalam. Setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan selama kurang lebih dua belas jam dari Medan ke kota Sibolga, di tambah perjalanan masuk desa yang memakan waktu dua jam, akhirnya aku bersama si kembar sampai di sebuah Mess yang sangat sederhana tidak jauh dari terminal pada malam hari. Huh, udara disini sangat dingin. Tapi suasana perjalanan tidak mengecewakan, benar sungguh menawan.
Tempat penginapan ini benar-benar sederhana, jauh berbeda dengan kamar tidurku. Modelnya seperti rumah panggung, kayu-kayu yang sudah lapuk berdiri tegak di bawahnya sebagai penopang sekaligus fondasi. Mess ini pun hanya terdiri dari dua kamar.
“Me, tidur sana! Besok pagi kau sudah mulai mengajar,” kata abangku ketus.
“Hmm, iya deh… Semoga aja Ame masih bisa bangun setelah tidur di tempat aneh seperti ini,” sahutku sambil terus menggerutu di dalam hati.
]]]
Pemandangan pagi di halaman sekolah ini tidak buruk, bahkan tidak berlebihan jika kata yang mewakili tempat ini adalah menawan. Burung-burung berkicau, hawa pagi menusukku sejuk, dan angin pun menerbangkan rambut lurusku. Kesibukan pagi para penduduk di jalanan pun terlihat sungguh natural.
Pemandangan terburuknya adalah sekolah ini sendiri. Hanya dibangun dengan kayu yang sudah lapuk, cat banyak yang terkelupas, dan seng yang sudah karatan. Di depan sekolah yang terdiri dari empat ruangan itu, ada sebuah bendera berdiri tegak dengan ragu. Kayu yang digunakan sebagai tiang seperti enggan berada disana. Disinikah mereka biasa belajar? Huh, aku tak ingin membayangkannya.
“Ame, kepala sekolah sudah mempersilahkanmu masuk. Cepatlah, kamu pasti bisa!” Kedua abangku langsung pergi seenaknya, meninggalkanku di jurang kebinasaan.
Aku mengetuk pintu kelas perlahan, dan aku melihat anak-anak itu. Anak-anak yang kuyakini punya semangat tinggi untuk belajar, berharap jika tua nanti tidak menjadi nelayan di desa ini seperti ayah-ayah mereka. Ayo Ame, semangat!
“Ayo Bu, silahkan masuk. Nah anak-anak, ini guru baru buat kalian. Rancak bana yo*, hehee…,” Pak Kepsek mempersilahkanku masuk.
Seluruh murid tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala. Aku jadi penasaran dengan arti kata yang membuat mereka seperti itu. Aku harus tahu nanti.
“Bu Guru, jika ingin mengajar disini tentunya harus memiliki kesabaran yang tinggi, tapi saya yakin Ibu bisa. Okelah Bu, silahkan Ibu berkenalan sendiri dengan mereka. Selamat datang di sekolah kami, saya permisi dulu,” kepala sekolah pun akhirnya keluar.
“Eh… Humm… Perkenalkan, saya adalah guru baru kalian. Hmm, nama saya Ameinda Lestari. Kalian bisa panggil Ibu Ame…,” kelas ini sungguh ribut, mereka seenaknya tertawa dan bercanda didepanku, gerutuku dalam hati.
Kelas yang menyebalkan ini hanya terdiri dari tujuh belas orang, tapi suara yang kudengar seperti seratus orang, bagaikan ingin merubuhkan sekolah lapuk ini. Ada yang menjambaki rambut kawannya, ada yang seenaknya melempar kapur dan kertas ke segala arah. Berlarian kesana-kemari. Hanya beberapa orang yang tetap diam di bangkunya.
“Halo Ibu Ame,” seseorang bicara tidak sopan.
“Hey hey, kalian jangan ribut. Ini hari pertama saya mengajar, pelajaran pertama dari saya adalah bagaimana caranya menghargai orang lain. Kalian harus diam jika guru berbicara di depan kelas. Mengerti?” Kataku mulai tidak sabar.
“Bu, memangnya orang bisa dihargai ya? Misalnya si Dudung itu Rp 500,- . Waw, aku suka Bu, hehe…,” aku semakin geram, dan tanpa sadar memukul meja sekeras-kerasnya. Wajah anak-anak itu menjadi pias dan ketakutan, serta-merta suara seratus orang tadi lenyap ditelan oleh suara tanganku yang baru saja memukul meja.
“Bukan, maksudnya sikap kesopanan kalian yang harus ditunjukkan kepada Ibu. Tertib, tenang, tidak ada yang kakinya naik ke atas meja, dan bersikap hormat terhadap orang yang lebih tua,” aku mulai bisa mengendalikan emosi, tidak seharusnya sikapku seperti itu. “Ibu minta maaf jika membuat kalian takut tadi. Ibu bukan guru yang kejam, tapi Ibu benar-benar tidak suka kelas yang begitu ribut. Ibu harap kita bisa bekerja sama.”
Tak berapa lama aku sudah mulai bisa mengendalikan kelas, mungkin karena hal tadi. Sekarang mereka semua sedang mengerjakan tugas dengan tertib di bangku masing-masing. Ada seorang siswi yang sedang mencuri perhatianku. Rambutnya panjang lurus dan terawat, sedang mencorat-coret bukunya dengan tangan kidal. Setelah aku melihatnya lebih teliti, ternyata alasan dia kidal adalah karena tangan kanannya tidak ada. Aku jadi penasaran.
“Hey, siapa nama kamu?” Akhirnya aku menghampiri ke bangkunya.
“Saya Del bu,” dia menatapku dengan enggan.
“Del, panjangnya apa?” Dia duduk di bangku belakang paling pojok tanpa satu pun teman. Mungkin dia suka menyendiri, dugaku dalam hati.
“Nama saya memang hanya Del bu.”
“Ow… Del. Del, kenapa kamu nggak gabung sama kawan yang lain?”
“Hmm, itu bu…”
“Dia sih nggak perlu dikawanin bu, tangan kanannya aja nggak betah berkawan sama dia, hahaa,” salah seorang siswa menyambung tidak sopan dan tawa mereka semua pun pecah lagi, seperti ada pertunjukan lenong disini. Dan hal ini membuat Del tertunduk, aku mulai bisa membaca situasi. Bukannya dia yang tak ingin bergaul, tapi … Aku harus menyelediki semua ini.
“Anak-anak, ketua kelasnya siapa?”
“Saya bu,” seorang lelaki yang berpostur tubuh kurus mengangkat tangannya.
“Nanti sepulang sekolah Ibu ingin bicara dengan kamu.”
“Ow, iya bu,” bersamaan dengan kalimat ini diucapkan, lonceng pun berbunyi setelah dipukul keras dua kali. Anak-anak mulai sibuk merapikan buku-buku mereka.
“Hore! Pulang!” Semua berteriak, kecuali Del tentunya. Dia seperti tak punya suara di kelas ini. Ada sedikit rasa iba yang terasa di hatiku melihat kondisi fisik Del dan wajahnya yang selalu murung itu.
“Jadi bu, apa salahku?” ketua kelas itu membuyarkan lamunanku.
“Apa hanya ketika seorang murid melakukan kesalahan baru guru boleh berbicara dengannya? Kau ini. Siapa nama kau?”
“Aku Buyung bu. Jika aku tak melakukan kesalahan, kenapa Ibu memanggilku?” Katanya sambil nyengir, dan terlihatlah gigi kuningnya yang mungkin begitu antik untuknya. Penampilannya yang kumal benar-benar khas anak desa.
“Ibu ingin tahu sedikit tentang Del darimu, bisa kan?” Tanyaku pada Buyung.
“Oh, Del. Iya bu, bisa.”
“Kalau Ibu boleh tahu, kenapa Del selalu menyendiri?”
“Hmm, mereka semua seperti menjadikan Del bahan cemoohan di kelas selama ini bu. Aku sebenarnya kasihan melihat dia, tapi nggak ada yang bisa aku lakukan bu. Tak ada seorang pun yang berani membantah jika si Rasyad, yang tubuhnya paling besar itu sudah punya mau. Ayahnya adalah orang yang punya rumah paling besar dan sangat berkuasa di Sorkam. Aku cuma bisa diam bu,” huh, dugaanku benar.
“Ibu mulai mengerti. Lalu ada apa dengan tangan Del?”
“Dia cacat sejak lahir bu. Kedua orangtuanya adalah nelayan. Hmm, pasti sekarang Del sedang ada di rumah Uci Embok untuk belajar menari, dari dulu dia tertarik sekali untuk menjadi penari. Bu, sebenarnya saya dulu sempat berteman baik dengannya, tapi saya juga terus-terusan dimusuhi Rasyad karena itu, jadi saya pilih jalur aman. Maaf bu.”
“Kamu antar Ibu kesana sekarang, bisa?” Buyung mengangguk.
]]]
Aku sampai juga di sebuah rumah panggung yang bentuknya agak berbeda dari yang lain. Belakangan kuketahui, ternyata itu adalah bekas rumah mantan menteri kita ketika zamannya Pah Harto, menteri pemuda dan olahraga, Bapak Akbar Tanjung.
Aku masuk ke dalam, banyak orang yang menyambutku. Mereka semua baik dan ramah. Ternyata selain dijadikan sebagai tempat pelatihan tari atau sanggar tari, setengah ruangan yang besar ini juga dirangkap menjadi perpustakaan desa. Di sudut sana kudapati Del sedang mencoba menari.
“Ayo Bu Guru silahkan masuk. Del sedang belajar tari Tor-Tor. Ibu mau mencoba belajar juga?” Uci Embok ternyata sangat ramah, dia juga penari yang sangat hebat. Buyung pun bergabung dengan beberapa orang yang mungkin temannya.
“O, bolehkah? Saya begitu penasaran ingin mencobanya.”
Aku pun mulai belajar, mengikuti gerakan dengan sangat perlahan. Tapi sayang, tanganku tak se lentur mereka semua. Jujur saja, ini pertama kalinya aku latihan menari, ternyata tak semudah yang kubayangkan.
“Jika ingin bagus, harus sabar melatih keliukan tangan dulu Bu Ame. Harus benar-benar sabar. Ibu rancak jugo yo…”
“Hmm, kalau boleh tahu rancak itu apa ya Uci?”
“Ow, belum tahu. Itu bahasa orang sini, artinya cantik. Penduduk di sini rata-rata campuran dari suku Batak dan Minang, karena disini kan daerah pesisir. Sudah ke pantai belum? Di sini pantainya pasir putih lho…”
“Oh ya? Nanti jika ada waktu saya kesana Uci. Pasti menakjubkan.”
“Hmm, jika Ibu mau, sehabis dari sini Del akan ke pantai. Biasanya sejam lagi Del mengumpulkan kerang atau batu karang, Ibu mau ikut kesana?” Del menimbrung, aku jadi penasaran akan pantainya.
“Dengan senang hati Del.”
]]]
Aku, Buyung, dan Del sekarang sudah ada di sebuah pantai yang namanya tak kuketahui. Pantai ini berbeda, belum ada orang yang berjualan atau pondok-pondok kecil tempat istirahat wisata. Dan di sudut mata memandang, kulihat banyak perahu nelayan bertengger di atas pasir putih yang ditancapkan pada sebatang bambu.
“Kenapa Bu? Agak bingung ya? Pantai ini memang bukan tempat wisata, masih asli dan digunakan sebagai tempat nelayan bekerja. Namanya pantai Kuala Batak. Yang mandi-mandi disini, ya memang hanya penduduk aslinya. Laut disini terkenal sebagai laut TPI alias Tempat Penangkapan Ikan. Ikan-ikan disini sangat segar,” Buyung menjelaskan. Pantas saja, sejauh mata memandang hanya pepohonan lebat dan kicauan burunglah yang menghiasi pantai ini.
Aku sangat ingin berenang, mencoba hanyut bersama pasir putih yang menawan ini. Perlahan aku sadar, keadaan sekarang pasti bisa kutangani dengan baik, tak seburuk yang kupikirkan lagi. Kedua anak ini sangat menyenangkan. Del berlari kesana-sini, mencoba mengumpulkan betu karang kecil, kerang-kerang lucu, atau pun bintang laut yang terbawa ombak ke daratan.
“Del, ternyata kamu sangat suka mengkoleksi barang-barang antik dan unik. Kapan-kapan Ibu boleh ya melihat koleksimu?”
“Bukan bu, ini bukan untuk dikoleksi. Disini banyak sekali benda-benda laut kecil yang terbawa ombak, dan akhirnya Del mengeringkan benda-benda laut ini. Setelah kering, Del dibantu kakak merangkai semuanya menjadi sekadar hiasan kecil, beros lucu, ataupun gantungan kunci. Nanti dibantu bapak untuk menjualnya ke pasar di kota Sibolga, banyak dibeli orang sebagai oleh-oleh pesisir,” Del bercerita dengan senyum yang melekat di bibirnya, anak ini sebenarnya sungguh manis.
“Waw, kreatif itu Del. Ibu ingin membawanya sedikit nanti untuk kawan-kawan di Medan. Dapat ide awal dari mana?”
“Del pernah melihat turis datang kesini, ternyata dia tertarik mengumpulkan ini juga bersama Del. Akhirnya jadi kepikiran untuk buat ini bu. Selain hasil penjualan yang lumayan, kita juga bisa memperlihatkan keunikan ini pada turis, itu sungguh membanggakan bu.”
“Ibu bangga sama kamu sayang,” akhirnya aku pun membantunya mengumpulkan benda-benda itu. Ini sungguh menyenangkan.
“Bu, belum makan kan? Sebentar lagi Bapak dan Mamak pasti pulang dari mencari ikan, mereka akan mendarat disini. Ibu mau menyombam?”
“Iya Del. Aku mau, itu seru bu,” sambung Buyung.
“Menyombam? Ibu baru dengar kata itu Del. Maksudnya?”
“Nelayan-nelayan disini setiap hari makan dengan menyombam. Maksudnya bakar ikan langsung disini tanpa bumbu apa pun. Nah, itu mereka pulang,” Del menunjuk kearah laut, dan ada sebuah sampan nelayan mendekat, orangtua Del.
Akhirnya kami berlima pun menyombam ditengah pantai. Ini sungguh seru! Sayangnya keempat abangku itu tidak ada disini, aku akan menyombongkan hal ini pada mereka nanti.
]]]
Sudah tiga minggu aku berada di desa ini. Kedua abangku itu tidak betah, dan akhirnya pulang ke Medan. Tak apa, aku sudah senang disini, mulai akrab dengan suasana dan cara hidup penduduknya. Setelah akrab dengan Ibunya Del, dia juga mengajari aku menbuat makanan khas daerah ini, seperti kue sapit, malomang atau bisa juga disebut lemang, tape, dan kue kipang. Aku juga pernah ikut kakaknya Del menyuci baju di sungai Aek Sibundong yang memisahkan Sorkam Kanan dan Sorkam Kiri. Aku juga baru tahu daerah kami ini namanya Sorkam Kanan.
Hari ini sekolah diliburkan karena banjir datang, ternyata hal ini sering terjadi. Tapi aku dan para murid ada di rumah Del. Alasanku, ini adalah tugas sekolah. Del akan membantu mereka, dan aku yakin mereka semua akan berteman baik melalui cara ini. “Ayo semuanya harus buat minimal dua gantungan kunci dari kerang. Nilai dari hasilnya akan Ibu masukkan ke buku laporan hasil belajar kalian.”
“Bu, gimana cara buatnya?” Rasyad kebingungan. Dari tadi dia hanya memegang-megang saja. Rasyad juga sudah mulai mau berteman dengan Del pelan-pelan. Aku banyak menasehatinya tentang hukuman bagi orang jahat, ternyata dia mau mendengarku.
“Del, tolong ajarkan Rasyad,” Del pun mengangguk.
“Begini Syad, ini kan sudah kering, kalau kamu mau mengecatnya tinggal diolesi cat dengan kuas ini. Jika catnya sudah kering, kamu bisa merangkainya dengan bentuk sesukamu, nanti tinggal disatukan dengan lem ini. Jangan lupa membuat lubang untuk gantungannya dengan pelubang keras ini. Ayo dicoba, kamu pasti bisa!” Del mengerjakan semuanya dengan penuh semangat. Walaupun dia mengerjakannya dengan menggunakan satu tangan dan bantuan jari kaki sebagai penyangganya. Aku sungguh kagum dengan ketangguhan Del.
Huh, banyak pelajaran yang aku ambil dari perjalananku kali ini. Aku belajar bersyukur, saling menyayangi, dan bahwa kehidupanku itu masih panjang. Aku akan membawa pulang oleh-oleh paling berharga, sebuah mutiara. Mutiara berupa kesadaran penuh melalui garis kehidupan Del. Aku yang sudah berkecukupan harusnya bisa lebih baik dari Del yang kondisi fisiknya seperti itu. Aku akan merubah diriku, menjadi Ame yang lebih baik dan berguna.
]]]